Selasa, 25 Maret 2008

TeNtang Seseorang

BARISAN DIALOG WAKTU

Dialogku dengannya tetap tak pernah berubah dari kebisuan. Hanya diam dalam kata-kata tanpa suara. Tak pernah menjadi dialog murni. Di kedekatan, justru seolah sangat jauh terpandang. Entah saat ini kami mempersingkat jarak atau justru memperpanjang jarak yang selama ini masih memisah. Hingga lantas kami harus menerima apa yang Tuhan tanamkan dalam kami. Bersandar pada sesuatu yang kadang sangat manis namun terkadang sangat menyakitkan. Dan kamipun selalu merindukan-Nya yang senantiasa menjadi sumber abadi atas segala hakikat.
Aku berusaha merubah batu-batu keras menjadi Kristal yang bercahaya dan kerasnya menjadi selembut tubuh-tubuh lilin.
Dialog kami membisu. Bagaimana dialog akan berlanjut? Aku pasrah pada jalan takdir yang telah tertuliskan.
Akupun yakin ia pasti memahami apa yang terucap dan apa yang tak bias terucap dariku.
Kata-kata adalah singgahsana hatiku. Kata-kata adalah hati yang memanggil logika untuk bermain di tempat yang sama. Beradu argument dan cara pandnag atau saling menguatkan.
Aku masih bersama sapaan-sapaan tertahan yang berdiri di atas seribu satu usaha untuk enyahkan kebimbangan dan kegundahan hatiku karena ketidak mampuanku bersuara. Tapi aku masih tetap berusaha. Melihat apapun dari esensi atas segala misteri yang aneh ini.
Aku sengaja mempertebal dinding hati agar tak lemah, dengan masih beratapkan serta beralaskan kepeduliaan terhadapnya, juga berusaha untuk terus menghargainya.
Pilar-pilar pengorbanan menguasai diri dengan ketegaran yang masih bertahan di sini. Aku tetap mencoba bicara meski dengan dialog bisu yang ia pahami. Kulihat dia dalam jendela yang beda. Melihat gelagatnya dari pandangan yang berbeda pula.
Meski segala kerisauannya tak henti berbaris dalam suatu prosesi di tiap irama waktu ini.
Aku tak kuasa meloncat jauh dari hening ini, untuk kemudian memasuki suasana lain atau nuansa lain.
Karena faktnya aku masih harus di sini.

RUANG SUNYI MEMBISU

Dulu seringkali aku menerima kata-kata hampa darinya. Tapi sekarang kurasa banyak kata-katanya yang lebih bermakna.
Perumpamaan hatinya seolah mengingatkanku selaksa beji baja yang telah meleleh dan dengan lelehan yagn lembut itulah ia berhasil menyentuh hatiku.
Hatinya kini sangat lembut, membuatku tak ingin ada yang menggoreskan luka di hatinya.
Aku memang tak bisa mengukur seberapa indah kehadirannya. Namun bayang semunya pernah membentuk memenuhi aktifitasku. Aku terus berduo’a agar hatiku tetap dalam penjagaan-NYA. Karena DIA adalah satu-satunya penguasa hati yang mengatur hatiku.
Masih saja kudapati ia diam-diam menyela di lintasan angan yang antara jarak pemisah yang entah sudah terbentuk semenjak aku mengenalnya.
Emosi pribadi yagn dulu membakar hati, kini dipahamkan oleh rahasia yang terungkap dariku sendiri yang kemudian mengubur kepingan emosi telah lama ia semaikan.
Kidung rahasia yang entah bermakna seperti apa. Segala kata mengantarkan aku pada pencarian titik temu sebuah keceriaan dan kebahagiaannya juga kebahagiaanku sendiri pada kehidupan real masing-masing, meski air mata sudah banyak tumpah sebelumnya.
Yang telah lalu sudah sangat cukup menghadirkan kepedihan. Tapi kini berusaha kulupakan dari memori hati. Aku tidak ingin lagi menuangkan atau dituangkan pedih dan luka.
Kesejukan dengan hati basah yang berusaha kukondisikan. Aku masih berusaha temukan elemen yang menerobos dinding penghalang atau sekedar untuk melenyapkan kabisuan. Dengan tetap bertahta pada prinsip yang telah kutanam selama ini. Dan tetap menjaga hakikat sesunggunya atas semuanya ini.
Wallohu A’lam.

LEWAT KATA

Akupun telah mengarahkan pendangan ke arah sisi yang lebih dalam. Tentang pribadiku yang masih saja bermain rahasia terhadap diriku sendiri.
Aku masih seperti sedia kala. Tiap saat aku kehilangan diriku di keramaian, aku akan menemukan kembali diriku dalam diam, sunyi, dan kesenyapan dalam membaca diri. Dan kapanpun aku tersesat dalam pemikiran, aku kembali bersama renungan panjang yang kurindukan.
Ilmulah yang masih mengisi konsentrasiku. Lebih mendominasi ketimbang aku memikirkan sosoknya. Ilmu yang nyaris membuatku bingung di buatnya. Karena itulah sesuatu yang terus kuusahkan untuk merasuk dalam pribadiku yang masih butuh dipupuk sedemikian rupa. Ilmulah yang kuharapkan selalu merasauk dalam jiwaku yang masih tersisa kehampaannya.
Aku mengisi waktu dengan kegembiraan dan keceriaan, meski terkadang di waktu lain tak jarang berganti dengan kegelisahan, kepedihan, kebingungan atau kesedihan.
Segalanya seringkali kutuangkan dalam kata. Sepertinya memang tak salah lagi, kata-kata telah menjadi bagian dari hidupku. Kata-kata menemaniku ketika suka dan dukaku. Aku selalu merangkainya sebagai salah satu pelipur laraku.
Karena aku tak begitu memudah memaknai kata-kata bersuara dari sosok sunyi yang selama ini masih tak lari dari diam. Karenanya, aku lebih suka memaknai kata-kata dalam tulisannya. Meski pada kenyataannya, aku sadar bahwa kata-kata tak selamanya mencerminkan hati seseorang. Tapi lewat kata-kata tanpa suara itulah, aku bisa mengenalnya. “Seseorang” yang selama ini berdialog dengan kata tak bersuara.
Dia yang dalam catatan harianku tak banyak kusebut, namun masih saja tersimpan dalam memoriku sebagai orang yang terdiam dalam ruang sunyiku. Berbicara tanpa suara, bercerita tanpa lisan berucap. Kata-katalah yang sejauh ini mendominasi pertemanan dalam diam.
Lewat kata aku mendengar jeritannya. Lewat kata aku melihat kemarahannya saat itu. Merasakan kekecewaanya terhadapku di kala itu. Lantas lewat kata-kata pula kujelaskan maksudku dan kujelaskan keadaanku.
Lewat kata aku mengenalnya. Lewat kata kucaba sepenggal catatan kehidupannya. Lewat kata aku mengenal keangkuhan yang lambat laun meleleh menjadi selembut kabut pagi.
Lewat kata, aku mengetahui keegoisan yang kini berubah menjadi kebijakan. Lewat kata, kudengar tangisnya, kudengar tawanya, kulihat senyumnya melalui mata hati.
Ya… Mata hati itulah yang lebih sering kugunakan untuk melihatnya. Karena mata kepalaku sebenarnya tiada kuasa menatapnya lebih lama.
Lewat mata hati aku lebih bisa menemukan kejujuran. Meski seringkali mata kepala berusaha membohongi.
Lewat kata, aku berucap dalam kebisuan, lewat orang lain aku mendengar tiap intonasi bahasanya, lewat do’a kusampaikan pesan tanpa hinggap di pendengaranya, lewat mata hati aku bisa melihatnya.
Jika tak ada kata,,, Mungkin aku tak kan mengenalnya sama sekali.

3 komentar:

Novitik mengatakan...

Bagus sekali untaian kata2mu ukhti yang baik dan jg maniz. q kagum denganmu, walau baru sekali q melihat fotomu dan jg site-mu.

salam kenal dari q yang sedang merindu dan mendamba kasih yang tulus.... dr orng yang bersedia menyayangi n mencintaiku dengan tulus lillahi ta'ala....

from: www.novipurwanto.blogspot.com

Az-Zahraku mengatakan...

hmmm terimakaih, ya...hehe maaf baru bales. sudah lama tak buka blog

Fina Af'idatussofa mengatakan...

-Dialog Tanpa Kata-
Pada akhirnya tulisan ini terbit jadi satu dalam sebuah buku.

Ya..

Aku ingin selalu menuliskan orang-orang yang berharga dalam hidupku/orang yang menyentuh hidupku sekalipun nama itu harus tersirat.

Usiaku sekrang mencapai 21 (jalan) Kini bukan lagi tentang seseorang. melainkan tentang semua orang yang membuat segala kesunyian dan rasa sepi dahulu, menjadi berubah warna membentuk senyuman ^_^